GRUP WHATSAPP POJERTEU
GRUP WHATSAPP POJERTEU
Grup whatsapp pojerteu ramai, isinya gurauan atau beberapa rencana pentas seni dan acara gerak jalan. Ada informasi bahwa hari ini diadakan rapat. Satu hal yang membuatku terlonjak, ada satu kata “nyimak” dengan username Arwan. Disitu entahlah senyumku tiba-tiba mengembang, aku berinisiatif menyimpan nomornya. Klik tambahkan ke kontak baru. Arwan. Malam itu kali pertama aku mendapatkan nomor Arwan, aku tak peduli apa dia juga menyimpan nomorku.
Saat berkumpul untuk rapat, tiada Arwan, padahal rumahnya dekat sekali dengan pos tempat rapat. Yaudahlah, mungkin besok acara pentas bisa bertemu.
19 Agustus 2017, Acara pentas seni malam itu berjalan lancar. Aku, yang pada saat itu terlambat datang, saat Arwan memberiku name take, ada perasaan aneh, entah aku tak peduli perasaan apa, yang aku tahu saat itu jantungku berdebar, kupu-kupu terbang dalam perutku. Namun aku tak mau menyimpulkan perasaan saat itu.
“Ayo-ayo semua pergi ke tugas masing-masing!” seru Mas Bagas, ketua karang taruna. Semua-pun pergi ke tugasnya masing-masing. Aku ditugaskan bagian konsumsi, pada saat itu aku bersama kak Wulan. Cewe yang satu tahun lebih dari aku.
Aku bosan jika harus terus diam duduk di kursi menjaga kue dan aqua. Aku bilang saja pada kak Wulan ingin melihat pentas seni. Kau tahu? Aku bukan melihat pentas seni, mataku menelusuri satu persatu orang. Hanya kutujukan untuk Arwan.
Dimana kamu saat itu wan?
Pukul 21.54, acara selesai. Kakak-kakak karang taruna menyarankan aku untuk pulang, karena kegiatan tak berakhir pada malam itu saja, pagi besoknya masih ada acara, mereka menyuruhku istirahat untuk bangun pagi besok.
Aku kembali ke rumah, sholat isya’, lalu tidur. Tetap saja sebelum tidur, pikiran yang terbesit Arwan lagi dan lagi. Mulai malam sebelumnya, hingga malam berikutnya, fikiranku selalu tertuju padanya.
-via whatsapp grup pojerteu¬-
Mas Bima : coffe in the morning(coffe)
Mas Abid : (coffe)
Mas Bagas : ayo cepet kumpul
Kak Wulan : kumpul di mana mas?
Mas Bagas : panggung
...4 pesan belum dibaca...
Semua panitia acara telah berkumpul di depan panggung acara gerak jalan, panitia menggunakan dresscode hitam, dan untuk warga menggunakan bebas, banyak juga warga yang berantusias memeriahkan acara dengan memakai berbagai tema.
20 Agustus 2017 / 06.45 WIB
Aku bertugas menjaga pos satu untuk pencoretan. Aku tak tahu Arwan bertugas apa, yang aku tahu saat itu seharusnya aku tak memikirkannya dulu, aku harus memikirkan kesuksesan acara gerak jalan memperingati kemerdekaan RI yang ke-72.
“Dil! Bisa mengendalikan sepeda motor?” teriak kak Ajeng, aku segera menghampiri. Berjarak beberapa meter, berpapasan dengan Arwan, tak tahu apa aku harus menyapanya duluan? Tapi aku malah diam.
Saat itu ia memakai sweter hitam dengan tulisan nothing di tengahnya, serta tambahan topi hitam juga yang menjadikannya semakin mempesona. Dari situ aku mampu melihat mata hitam yang teduh.
“nggak kak, gak bisa” sembari menggeleng.
“yahhh,,udah kelas tiga smp masih belum bisa,” menyenggol bahuku “belajar kek!” mulai menyalakan motor, aku hanya tersenyum tipis sambil meraih kamera.
-via whatsapp grup pojerteu-
Adilla : mbak mas, pos satu dimana? Aku sama kak Ajeng di depan BPJS Ontoseno
Hendro : jangan lupa saling calling-callingan mas mbak
Mas Bima : barisan paling belakang minta air, pembawa air merapat kesini
Hendro : di pos 1 ada aqua
Kak Meilani : posisi sudah dimana
Hendro : depan bupati
Mas Bima : pengguntingan prepare !!!
Kak Meilani : siaaappp
...8 pesan belum dibaca...
Aku mematikan hp dan memasukkannya pada saku celana jeans ku. Waktu itu aku mengenakan baju hitam dengan celana jeans putih, kamera terkalung pada leherku. Sambil menunggu warga, aku memotret panitia-panitia lain.
Lelah tapi senang rasanya, kali pertamaku menjadi panitia pada acara seperti ini. Hingga rasanya walau lelah, namun jika suatu hal itu berjalan baik, ada kepuasan tersendiri. Sesampainya di panggung, semua panitia ke belakang, sudah tersedia nasi soto segar disana.
“ini Dill, makan! Minum a?” kata mas Aldi dengan menyerahkan soto segar, dilengkapi sambal dan kerupuk udang. Lalu mas Aldi mengambilkan kursi plastik untuk kududuki. Aku merasa senang saja, bukan hanya mas Aldi, yang lainnya juga perhatian padaku. Entah mungkin mereka sudah menganggapku adiknya.
“sambelnya pedes atuh dil,” kak Wulan sambil mulut yang megap-megap. Aku tertawa “gak apa atuh kak, aku mah suka pedes” lalu menyeruput kuah soto dengan kepulan asap diatasnya.
Setelah semua makan, kembali ke tugas selanjutnya.
“kak Wulan tau Arwan?”
“tau, kenapa atuh?” seraya menggoda “kamu mau ya sama dia?” mendelik lalu tertawa melihat pipiku yang memerah.
“kamu gak beli apa gitu?” lanjutnya,
Aku hanya menggeleng, “jangan bilang siapa-siapa dulu atuh ya kak?!”
“jadi iya?!” terkejut dan tertawa. Aku mengangguk dan segera memalingkan wajah, sebelum kak Wulan melihat pipiku yang mulai memerah lagi. Sejak saat itu aku tau aku benar ada rasa pada dia. Akupun lebih bisa bercerita pada kak Wulan, entah kenapa lancar-lancar saja menceritakan berbagai hal dengan kak Wulan.
“tapi mas Aldi kayaknya mau sama kamu tuh,” teringat sesuatu.
“masa iya?” seolah berfikir, “kakak tau darimana?”
“dia kan yang paling perhatian ke kamu, iya ya?”
“Hhh iya juga, tapi gak tahu,” mengangkat bahu.
Acara berakhir pukul 14.50 kalo gak salah waktu itu. aku memikirkan kata-kata kak Wulan, tapi tak terlalu yakin jika kak Aldi memang mau dengan ku. Saat di rumah, aku membuat coklat panas dan memanjakan diriku, mendengarkan musik lewat headseat. Tiba-tiba saja ada notif pesan,
-via whatsapp mas Aldi-
Mas Aldi : tadi nggak makan-makan dulu dil
Adilla : di rumah kak Meilani mas
Mas Aldi : sampai sekarang a
Adilla : udah pulang ini :v
Mas Aldi : yaudah wes istirahat aja
Mas Aldi : semangat semangat
Adilla : masih di sana mas?
Mas Aldi : enggak udah pulang baru selesai beres-beres semua sama temen-temen semua
Adilla : oh yaudah
Mas Aldi : oh iya
...1 pesan belum dibaca...
Kurasa hal ini hanya biasa, seperti halnya kakak pada adiknya. Aku tak pernah berfikir untuk melebihkan hal itu.
Banyak sih pesan-pesanku dengan kak Aldi, tapi aku hanya memandangnya sebatas kakak, entah dia kepadaku, aku tak terlalu memusingkan itu.
Waktu itu perasaanku hanya dipenuhi pengharapan pada Arwan, aku juga saling bertukar pesan dengannya, biasanya aku yang memulai duluan, kadang ia minta dispam chat, karena hal yang dinamakan sowong. Aku bersedia, asal itu Arwan.
“aku belum pernah merasa mengejar-ngejar seseorang seperti ini, biasanya lelaki yang mengejar-ngejarku. Bahkan juga tak biasanya aku seperti ini. Kau tahu apa ini kak El! Ternyata rasanya gak enak” ocehanku pada benda pipih yang kuangkat di telinga.
Terdengar deru nafas dari seberang sana, kak Else. Malam itu aku banyak mengumpat, entah rasanya seperti sedih, namun tak tahu sedih karena hal apa. “kamu tahu rasanya berharap seperti apa, ya itu yang dirasakan banyak laki-laki yang kamu tolak. Harapan itu menyakitkan dil,” suara itu terdengar teduh.
Aku tahu rasanya, apa aku salah dengan menolak segala cinta yang datang? Aku hanya ingin menjaga hati, cukup untuk sakit yang kurasakan dulu, ditambah laki-laki yang datang padaku tak ada yang sesuai dengan yang kumau.
“dulu kamu pernah nyoba rasanya jatuh cinta, untuk apa kamu mencobanya lagi jika hanya sakit yang kamu dapat? Kakak harap kamu lebih hati-hati menggunakan hati. Seperti apakah si Arwan itu?”
Aku diam sejenak, benar kak Else. Tapi siapa yang bisa mengatur jika perasaan itu tiba-tiba? Aku membenahi duduk, “dia bermata teduh, namun gelapnya seperti menyimpan luka. Aku akan ceritakan besok kak, angin malam ini membuatku ingin memejamkan mata,”
“tunggu, bagaimana kabar Jose?”
“aku tak ingin membahasnya kak, aku masih tidak bisa menerima perasaannya untukku”
“aku tau yg kau rasakan, kau tak ingin menghancurkan persahabatan kan, aku mengerti, tapi jangan membencinya, kasihan,”
“Aku sulit merubah persahabatan menjadi pacaran, dan aku tak ada perasaan yang lain selain sayangnya seorang sahabat”
“yaudah kamu tidur sana, Assalamualaikum...”
“waalaikumsallam” aku menutup hp dan menaruhnya diatas meja belajar, membaringkan tubuh seraya menutup mata.
Grup whatsapp pojerteu ramai, isinya gurauan atau beberapa rencana pentas seni dan acara gerak jalan. Ada informasi bahwa hari ini diadakan rapat. Satu hal yang membuatku terlonjak, ada satu kata “nyimak” dengan username Arwan. Disitu entahlah senyumku tiba-tiba mengembang, aku berinisiatif menyimpan nomornya. Klik tambahkan ke kontak baru. Arwan. Malam itu kali pertama aku mendapatkan nomor Arwan, aku tak peduli apa dia juga menyimpan nomorku.
Saat berkumpul untuk rapat, tiada Arwan, padahal rumahnya dekat sekali dengan pos tempat rapat. Yaudahlah, mungkin besok acara pentas bisa bertemu.
19 Agustus 2017, Acara pentas seni malam itu berjalan lancar. Aku, yang pada saat itu terlambat datang, saat Arwan memberiku name take, ada perasaan aneh, entah aku tak peduli perasaan apa, yang aku tahu saat itu jantungku berdebar, kupu-kupu terbang dalam perutku. Namun aku tak mau menyimpulkan perasaan saat itu.
“Ayo-ayo semua pergi ke tugas masing-masing!” seru Mas Bagas, ketua karang taruna. Semua-pun pergi ke tugasnya masing-masing. Aku ditugaskan bagian konsumsi, pada saat itu aku bersama kak Wulan. Cewe yang satu tahun lebih dari aku.
Aku bosan jika harus terus diam duduk di kursi menjaga kue dan aqua. Aku bilang saja pada kak Wulan ingin melihat pentas seni. Kau tahu? Aku bukan melihat pentas seni, mataku menelusuri satu persatu orang. Hanya kutujukan untuk Arwan.
Dimana kamu saat itu wan?
Pukul 21.54, acara selesai. Kakak-kakak karang taruna menyarankan aku untuk pulang, karena kegiatan tak berakhir pada malam itu saja, pagi besoknya masih ada acara, mereka menyuruhku istirahat untuk bangun pagi besok.
Aku kembali ke rumah, sholat isya’, lalu tidur. Tetap saja sebelum tidur, pikiran yang terbesit Arwan lagi dan lagi. Mulai malam sebelumnya, hingga malam berikutnya, fikiranku selalu tertuju padanya.
-via whatsapp grup pojerteu¬-
Mas Bima : coffe in the morning(coffe)
Mas Abid : (coffe)
Mas Bagas : ayo cepet kumpul
Kak Wulan : kumpul di mana mas?
Mas Bagas : panggung
...4 pesan belum dibaca...
Semua panitia acara telah berkumpul di depan panggung acara gerak jalan, panitia menggunakan dresscode hitam, dan untuk warga menggunakan bebas, banyak juga warga yang berantusias memeriahkan acara dengan memakai berbagai tema.
20 Agustus 2017 / 06.45 WIB
Aku bertugas menjaga pos satu untuk pencoretan. Aku tak tahu Arwan bertugas apa, yang aku tahu saat itu seharusnya aku tak memikirkannya dulu, aku harus memikirkan kesuksesan acara gerak jalan memperingati kemerdekaan RI yang ke-72.
“Dil! Bisa mengendalikan sepeda motor?” teriak kak Ajeng, aku segera menghampiri. Berjarak beberapa meter, berpapasan dengan Arwan, tak tahu apa aku harus menyapanya duluan? Tapi aku malah diam.
Saat itu ia memakai sweter hitam dengan tulisan nothing di tengahnya, serta tambahan topi hitam juga yang menjadikannya semakin mempesona. Dari situ aku mampu melihat mata hitam yang teduh.
“nggak kak, gak bisa” sembari menggeleng.
“yahhh,,udah kelas tiga smp masih belum bisa,” menyenggol bahuku “belajar kek!” mulai menyalakan motor, aku hanya tersenyum tipis sambil meraih kamera.
-via whatsapp grup pojerteu-
Adilla : mbak mas, pos satu dimana? Aku sama kak Ajeng di depan BPJS Ontoseno
Hendro : jangan lupa saling calling-callingan mas mbak
Mas Bima : barisan paling belakang minta air, pembawa air merapat kesini
Hendro : di pos 1 ada aqua
Kak Meilani : posisi sudah dimana
Hendro : depan bupati
Mas Bima : pengguntingan prepare !!!
Kak Meilani : siaaappp
...8 pesan belum dibaca...
Aku mematikan hp dan memasukkannya pada saku celana jeans ku. Waktu itu aku mengenakan baju hitam dengan celana jeans putih, kamera terkalung pada leherku. Sambil menunggu warga, aku memotret panitia-panitia lain.
Lelah tapi senang rasanya, kali pertamaku menjadi panitia pada acara seperti ini. Hingga rasanya walau lelah, namun jika suatu hal itu berjalan baik, ada kepuasan tersendiri. Sesampainya di panggung, semua panitia ke belakang, sudah tersedia nasi soto segar disana.
“ini Dill, makan! Minum a?” kata mas Aldi dengan menyerahkan soto segar, dilengkapi sambal dan kerupuk udang. Lalu mas Aldi mengambilkan kursi plastik untuk kududuki. Aku merasa senang saja, bukan hanya mas Aldi, yang lainnya juga perhatian padaku. Entah mungkin mereka sudah menganggapku adiknya.
“sambelnya pedes atuh dil,” kak Wulan sambil mulut yang megap-megap. Aku tertawa “gak apa atuh kak, aku mah suka pedes” lalu menyeruput kuah soto dengan kepulan asap diatasnya.
Setelah semua makan, kembali ke tugas selanjutnya.
“kak Wulan tau Arwan?”
“tau, kenapa atuh?” seraya menggoda “kamu mau ya sama dia?” mendelik lalu tertawa melihat pipiku yang memerah.
“kamu gak beli apa gitu?” lanjutnya,
Aku hanya menggeleng, “jangan bilang siapa-siapa dulu atuh ya kak?!”
“jadi iya?!” terkejut dan tertawa. Aku mengangguk dan segera memalingkan wajah, sebelum kak Wulan melihat pipiku yang mulai memerah lagi. Sejak saat itu aku tau aku benar ada rasa pada dia. Akupun lebih bisa bercerita pada kak Wulan, entah kenapa lancar-lancar saja menceritakan berbagai hal dengan kak Wulan.
“tapi mas Aldi kayaknya mau sama kamu tuh,” teringat sesuatu.
“masa iya?” seolah berfikir, “kakak tau darimana?”
“dia kan yang paling perhatian ke kamu, iya ya?”
“Hhh iya juga, tapi gak tahu,” mengangkat bahu.
Acara berakhir pukul 14.50 kalo gak salah waktu itu. aku memikirkan kata-kata kak Wulan, tapi tak terlalu yakin jika kak Aldi memang mau dengan ku. Saat di rumah, aku membuat coklat panas dan memanjakan diriku, mendengarkan musik lewat headseat. Tiba-tiba saja ada notif pesan,
-via whatsapp mas Aldi-
Mas Aldi : tadi nggak makan-makan dulu dil
Adilla : di rumah kak Meilani mas
Mas Aldi : sampai sekarang a
Adilla : udah pulang ini :v
Mas Aldi : yaudah wes istirahat aja
Mas Aldi : semangat semangat
Adilla : masih di sana mas?
Mas Aldi : enggak udah pulang baru selesai beres-beres semua sama temen-temen semua
Adilla : oh yaudah
Mas Aldi : oh iya
...1 pesan belum dibaca...
Kurasa hal ini hanya biasa, seperti halnya kakak pada adiknya. Aku tak pernah berfikir untuk melebihkan hal itu.
Banyak sih pesan-pesanku dengan kak Aldi, tapi aku hanya memandangnya sebatas kakak, entah dia kepadaku, aku tak terlalu memusingkan itu.
Waktu itu perasaanku hanya dipenuhi pengharapan pada Arwan, aku juga saling bertukar pesan dengannya, biasanya aku yang memulai duluan, kadang ia minta dispam chat, karena hal yang dinamakan sowong. Aku bersedia, asal itu Arwan.
“aku belum pernah merasa mengejar-ngejar seseorang seperti ini, biasanya lelaki yang mengejar-ngejarku. Bahkan juga tak biasanya aku seperti ini. Kau tahu apa ini kak El! Ternyata rasanya gak enak” ocehanku pada benda pipih yang kuangkat di telinga.
Terdengar deru nafas dari seberang sana, kak Else. Malam itu aku banyak mengumpat, entah rasanya seperti sedih, namun tak tahu sedih karena hal apa. “kamu tahu rasanya berharap seperti apa, ya itu yang dirasakan banyak laki-laki yang kamu tolak. Harapan itu menyakitkan dil,” suara itu terdengar teduh.
Aku tahu rasanya, apa aku salah dengan menolak segala cinta yang datang? Aku hanya ingin menjaga hati, cukup untuk sakit yang kurasakan dulu, ditambah laki-laki yang datang padaku tak ada yang sesuai dengan yang kumau.
“dulu kamu pernah nyoba rasanya jatuh cinta, untuk apa kamu mencobanya lagi jika hanya sakit yang kamu dapat? Kakak harap kamu lebih hati-hati menggunakan hati. Seperti apakah si Arwan itu?”
Aku diam sejenak, benar kak Else. Tapi siapa yang bisa mengatur jika perasaan itu tiba-tiba? Aku membenahi duduk, “dia bermata teduh, namun gelapnya seperti menyimpan luka. Aku akan ceritakan besok kak, angin malam ini membuatku ingin memejamkan mata,”
“tunggu, bagaimana kabar Jose?”
“aku tak ingin membahasnya kak, aku masih tidak bisa menerima perasaannya untukku”
“aku tau yg kau rasakan, kau tak ingin menghancurkan persahabatan kan, aku mengerti, tapi jangan membencinya, kasihan,”
“Aku sulit merubah persahabatan menjadi pacaran, dan aku tak ada perasaan yang lain selain sayangnya seorang sahabat”
“yaudah kamu tidur sana, Assalamualaikum...”
“waalaikumsallam” aku menutup hp dan menaruhnya diatas meja belajar, membaringkan tubuh seraya menutup mata.

Nicee qq:')
BalasHapusBaca next nya lagi qq:v makasih😊
Hapus