USIA DI 15 TAHUN

USIA DI 15 TAHUN
 21 Oktober 2017, 4 hari lagi ulang tahun Arwan. Hari itu aku ditemani Safitri, sahabatku. Kebetulan dia tahu tentang kedekatanku dengan Arwan. Ia bersedia menemaniku mencari keperluan untuk surprised di hari ulang tahun Arwan.
 Aku juga mencari foto-foto lama Arwan di akun facebok-nya. Wajahnya polos, hanya semakin terlihat dewasa saja. Fotonya akan aku buat snap dan ucapan selamat ulang tahun tepat pada jam 00.00 di tanggal 25 Oktober nanti.
Hari itu, aku pergi ke beberapa toko, mencari sebuah hadiah yang tepat untuk Arwan. Sudah banyak toko yang kujajahi, hingga akhirnya dapat. Aku ingin foto di perumahan BTU, aku mengajak temanku itu naik angkot ckl menuju BTU.
 Saat itu sampai di BTU pukul 16.23 WIB. Aku mengalami masalah, saat memfoto Safitri, tiba-tiba 3 sepeda motor menepi, 3 sepeda motor itu diisi 3 anak laki-laki. 2 anak turun dan seperti berjalan ke arah ku, aku tak ada fikiran negatif pada anak itu, tubuhnya tinggi, seperti seumuran anak baru sma.
“mbak rumahnya dimana?” tanya dia yang tiba-tiba sedikit mendekat. Tak ada rasa curiga apapun saat itu, bagiku dia seperti anak-anak biasa saja.
Aku tak terlalu mempedulikannya, aku tetap menyuruh Safitri berpose dan akan kufoto, tapi Safitri malah membalas pertanyaan dari anak itu, “ di polehan” entah yang kulihat Safitri seperti ketakutan.
“polehan mana mbak?” kali ini sudah terlihat mencurigakan. Aku berusaha bersikap tenang tapi was-was.
“permadi!” aku menjawab kasar.
 Teman yang satunya mulai bertindak, mendekat padaku dan Safitri. Yang aku lihat, wajah Safitri benar-benar seperti tak berdaya. Aku tetap mengendalikan diriku dengan bersikap tenang, agar aku bisa berfikir seperti apakah anak itu.
 Kedua anak itu seperti semakin emosional, ini yang sedari tadi kutunggu. Semuanya terlihat jelas, mereka bukan anak baik-baik. Safitri seperti mati kutu. Kenapa Safitri tak bisa diajak kompromi.
 Anak itu mengeluarkan pisau dari jacketnya, aku sedikit terkejut dengan itu, melihat wajah Safitri memucat, ia mulai mengajakku berlari, “mbak hp atau nyawa?!” mereka mengulang-ulang kalimat itu.
 Aku ingin sekali melawannya, namun melihat Safitri yang sudah seperti itu, jika aku terus bersikeras akan melawannya, Safitri bisa-bisa pingsan disana, akan membuatku semakin susah. Aku ikut berlari. Kedua anak itu mengejarku, hingga akhirnya ada ibu-ibu berjalan dari arah atas, aku segera memanggil ibu-ibu itu untuk membantuku dan Safitri.
 Para pembegal itu takut dan pergi. Aku segera menenangkan Safitri dan memesan grab untuk pulang. Aku tak takut, tapi selain memikirkan diriku bukankah aku harus ingat bahwa aku bersama sahabatku. Saat itu rasanya aku ingin melawan anak-anak itu, tak peduli dengan pisau yang ia bawa. Karena yang aku fikirkan saat itu, jika aku melepaskan mereka, mungkin akan ada korban pembegalan lainnya.
Bukan hanya itu, aku berat jika memberikan hp-ku secara Cuma-Cuma, yang aku fikirkan saat itu, bagaimana aku bisa chattingan dengan Arwan nanti? Bagaimana kalau Arwan mencariku? Bagaimana kalu nanti aku tak bisa mengucapkan selamat ulang tahun untuk Arwan? Pikiranku dipenuhi akan Arwan.
 Itu hari burukku. Aku ingat saat aku berlari sambil menggenggam erat handphone dan hadiah yang aku beli untuk ultah Arwan, hadiah itu menyaksikan semuanya.
 Syukurlah aku selamat sampai pulang.
Hari itu saat di rumah, aku ingin berbagi cerita itu dengan Arwan, namun sayangnya dia sedang off. Ya sudahlah biarkan, semua sudah berlalu, aku juga tak ingin jika nanti saat Arwan tau, dia malah cemas denganku.
Aku memilih untuk membungkus hadiah itu, aku menggambar fotoku dengan Arwan diatas kertas putih, lalu aku memberi securik puisi untuknya. Lalu menulis harapan serta ucapan selamat ulang tahun.
 Tapi kata Fathur sepertinya Arwan tau apa rencanaku untuk ulang tahunnya, dan sepertinya Arwan tak setuju. Aku pasrah, menyimpan kembali uang ku, dan yang aku lakukan hanya memberikan hadiah yang kubeli untuknya.
 Aku tak bisa memaksakan Arwan untuk menyetujuinya, aku lebih senang jika ia senang dengan apa yang ia mau. Aku tak akan merasa senang dengan kemauanku tapi malah membuatnya tidak nyaman.
 Tanggal 24 Oktober 2017 aku mematikan data, aku merencanakan hari itu off, tanpa kabar untuk Arwan, juga melihat apakah dia cemas saat aku off. Itu sengaja kulakukan, aku akan mengaktifkan handphone tepat pada pukul 00.00 dan itu hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun untuknya, lalu membuat snap fotonya.
Aku ingin jadi yang pertama, saat itu aku tidak tidur hingga tepat pukul 00.00, di pagi hari tanggal 25 Oktober 2017. Ternyata dia mencariku, maafkan aku wan, aku sengaja melakukannya, itu semua bagian dari surprised ku. Kamu boleh tak setuju, tapi itu caraku.
-via whatsapp Arwan-
Arwan : dil
Arwan : dilkenyot
Arwan : leh nandi(kemana) ek
Arwan : malah off i
Adilla : HBD wanklutikku๐Ÿ’•๐Ÿ˜Š, semoga panjang umur, makin berbakti sama ortu, tambah pinter
            15 Y.O :v Maaf, sengaja aku off in buat ngucapin ini๐Ÿ˜…๐Ÿ˜Š
 Setelah itu aku bergegas tidur hanya untuk bangun di pagi hari melihat responnya. Aku ingin lihat bagaimana reaksinya. Selamat tidur wanklutikku. Hehe. Maaf jika yang aku lakukan sederhana saja.
 Setelah aku bangun dari tidurku, segera kucari handphone melihat balasan dari Arwan, apa dia senang? Apakah dia sudah merasakan bahwa ia sangat berharga bagiku?
Lagi, sesampai di sekolah aku sudah ingin pulang saja, aku tak sabar memberikan hadiah itu pada wanklutikku. Beberapa kali aku melihat jam dinding kelas, kenapa sesuatu yang ditunggu rasanya lama?
“ngapain sih dil?” Shasa terlihat habis kesabaran melihat aku yang setiap menit melihat jam.
“hehe...aku pengen pulang” meringis sembari menggaruk tengkuk
“sama! Aku pengen cepet pulang dan bahkan pengen cepet lulus udah dari sekolah ini, aku bosan, sudah temen sekelasnya gini-gini semua” jelas Shasa panjang lebar, raut mukanya seperti lelah dengan kehidupannya.
 Aku mengerti apa yang ia rasakan, ia menjadi bahan bullying di kelas. Ia pasti sangat tak nyaman, aku tersenyum memberinya sedikit ketenangan, “jalani aja, nikmati cerita dari tuhan Sha, jangan dijadiin beban, enjoy ae...pasti gak kerasa nanti tiba-tiba lulus” meringis lagi.
 Ini masih jam terakhir pembelajaran, kulihat ke arah jam, 5 menit lagi bel pulang berbunyi. Aku segera mengemasi peralatan sekolahku, padahal saat itu guru masih sibuk menjelaskan. Aku bahkan tak peduli saat beberapa mata menatapku seolah berkata ‘kami terganggu dilla, diamlah!’ mata teman sekelas yang menghunusku. Aku tak menggubrisnya.
“belum bel?!” tanya Shasa seperti heran,
“sedia payung sebelum hujan...hehe” meringis lagi, entah berapa kali aku meringis di hari itu. shasa mengangguk dengan malas.
 Andai ada yang tau hari itu, saat aku yang paling ramai sibuk sendiri dalam kelas, dengan tatapan menghunus teman-temanku seolah mereka ingin memakanku. Dan untung guru tidak menegurku saat itu, beliau hanya terlihat seperti terganggu dengan suara risihku, jadi beliau semakin mengeraskan suaranya, membuat sekelas sedikit terkejut.
“sore! Lagi nunggu jemputan ya? Kasian deh...hahaha” 
“ngapain kesini?!” aku malas menanggapinya,
“aku temenin ya...pliss?” menyatukan kedua telapak tangannya seperti memohon.
Aku hanya mengangguk lemah, lagian hari itu Arwan tak menelefon ku, entah kenapa ia menjadi jarang vidcall ataupun telfon. Aku menyingkirkan pikiran negatifku.
“gabaik cewek sendirian, harus ditemenin,” memecahkan kecanggungan.
 Aku lagi-lagi diam, aku hanya ingin segera pulang dan bertemu dengan Arwan.
“dill, diam terus?” 
“apaan sih Dio? Tadi ngejek, terus ngapain sekarang nemenin?! pulang sana! Palingan bentar lagi ayah jemput, nanti kalau ayah liat aku sama kamu disini, nanti ayah salah sangka!” menghembuskan nafas berat.
 Dio merengut, aku merasa bersalah, mungkin yang aku katakan membuatnya sakit hati.
“kamu kelihatan imut kalau lagi sebel!” 
“makasih,” aku sibuk melihat jalanan, kenapa ayah tak sampai-sampai? Aku ingin segera jauh-jauh dari tempat itu.
“tapi boong! Wkwkwk” memegang perut sambil tertawa cekikikan.
Itu tak lucu, aku semakin malas melihat Dio, dia meredakan tawanya, “jadi porek(ngambek) nih?” godanya lagi.
 Aku malas menggubrisnya, untung saat itu ayah sudah sampai, aku segera menjauhinya, aku tak suka berbagai macam gombalan dari lelaki manapun kecuali dari wanklutikku. Tidak ada yang boleh menggombaliku kecuali wanklutikku. Itu saja.
 Sesampai di rumah, aku lekas mandi , lalu menghadap layar handphone. Kutanya keberadaan Arwan ada dimana, katanya ia sedang kerja kelompok. Ada sedikit perubahan yang terasa didirinya, saat itu dia sedang online, tapi tak kunjung membaca pesan dariku.
 Katanya kerja kelompok, tapi mengapa terus-terusan online? Apa dia masih mengira aku mau menjalankan rencanaku? Padahal saat itu aku sudah bersiap untuk bertemu dengannya, memberikan hadiah untuknya. Apa Arwan menghindar dariku?
Tapi aku terus berusaha meyakinkan bahwa rencana ku yang akan merayakan ulang tahunnya itu tidak akan terjadi, aku hanya ingin bertemu dan memberikan sesuatu untuknya, itu saja, aku tidak berbohong.
 Melihat Arwan yang seperti tak yakin, aku bergegas mencabut hp dari kabel ces, mengambil jacket berwarna biru muda, meraih sebuah benda yang dibungkus kertas kado bergambar baymax orange dan memasuknya pada kresek.
“ibu, aku keluar sebentar!” dengan bergegas, terdengar samar suara ibu saat berkata iya.
Aku melihat pesan yang aku kirimkan masih belum terbaca. Aku kembali fokus pada jalan.
 Hingga sampai di daerah SDN POLEHAN 5, dekat kuburan, dan hanya sedikit cahaya, disana aku segera memberi pesan pada Arwan untuk menemuiku, ia bilang ia lelah baru pulang dari kerja kelompok, jika memang benar, maafkan aku.
 Aku memaksanya, aku bilang hanya sebentar, aku takut, sebelah kanan sudah kuburan, apalagi saat itu sudah malam, aku sendiri. Tapi memang harus kulakukan, lumayan lah menunggunya, walau takut yang aku rasa.
 Ketika aku menoleh ke belakang, sosok gagah itu berjalan dengan indah, aku tau siapa, dia wanklutikku. Aku tersenyum hingga dia mendekat.
“ini...” berusaha menormalkan suara,
Arwan terlihat sedikit terkejut, “apa itu?”
Aku tersenyum, “udah terima aja”
“buat aku?” raut mukanya yang terkena cahaya lampu seolah senang, aku suka melihatnya saat itu, aku semakin tak ingin jauh. Tak apa jika sebelumnya aku antara merasa takut dan berdegub membayangkan bertemu dengan Arwan.
 Aku hanya mengangguk dan tetap tersenyum, aku memilih sedikit berbicara hanya untuk menyembunyikan suara ku yang mungkin akan terdengar aneh, karena jantungku benar-benar berdegub saat menatap matanya.
 Aku segera memberi hadiah itu padanya, dan berpamit pulang, aku takut ia tahu deguban jantungku.
“ooh, yasudah, mau aku antar?” memberiku jalan, untuk berjalan duluan.
“nggak, nggak usah” aku ingin menahan senyumku, bahagia itu, astaga, rasanya benar-benar membuatku ingin berteriak.
“yaudah, ati-ati. Aku lewat sini ya?” ia menunjuk arah kanannya, aku hanya mengangguk dan berlalu dahulu.
Hanya itu yang mampu aku lakukan, aku akui aku sedang salah tingkah saat itu, hingga membuatku bertingkah aneh, padahal sebenarnya aku masih ingin berbicara banyak dengannya, aku masih ingin menatap matanya.
Bagaimana dengan perasaannya saat itu? aku tak tahu.
 Sesampai di rumah, aku merebahkan tubuhku, merasakan angin yang masuk dari celah-celah jendela. Aku senang, masih salah tingkah sendiri. Aneh yang kurasakan saat itu. karena sesungguhnya aku jarang memberi sesuatu pada orang yang kusuka, karena biasanya aku yang mendapat.
Aku malu sendiri membuka hp, entah kenapa. Aku malas membuka whatsapp, aku membayangkan apa jawaban dari Arwan, apa ia akan senang? Atau ia akan biasa saja? Hadiah itu hanya sebuah Al-Qur’an, harapanku dengan memberinya itu, karena aku ingin saat ia membacanya, maka ia akan mengingat itu. dan Al-Qur’an adalah sesuatu yang tak mungkin terbuang kan?
                      25 Oktober 2017

 Saat membuka whatsapp, ada sebuah pesan terima kasih darinya, ada yang tak biasa, disana aku juga memberinya securik bait sajak,

Panggilanmu Arwan,
Melihat senyummu seakan terbang ke awan,
Tingkahmu dermawan,
Sampai rasa yang tumbuh tak bisa kulawan,
Dingin sifatmu,
Sangatlah mampu menumbuhkan rasa rindu,
Manis ucapanmu,
Membunuh sesosok masalalu dalam jenuhku,
Dekat denganmu terasa aman,
Terimakasih teman.

 Kutulis dengan pena hitam, tulisanku tak sebagus wanita biasanya. Aku minta maaf soal itu, dan untuk sajak yang terakhir, disana aku menuliskan ‘terimakasih teman’ sesungguhnya saat itu aku ingin menuliskan ‘terimakasih sayang’, namun aku ubah, karena aku takut saat membaca itu dia menjadi geli sendiri.
 Apa kau ingat itu semua wan? Kuharap kau ingat, moment kedua bersamamu yang paling kuingat, setelah pantai Teluk Asmara.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANPANYA

PUISI-PUISI YANG TAK SEMPAT TERSAMPAIKAN