KEPERGIANNYA

 3 November 2017, malam itu, aku dan Arwan bertengkar, entah siapa yang salah. Mungkin aku, aku yang terlalu berlebihan padanya. Ia menjadi sedikit menghindar dariku, saat itu aku benar-benar emosional. Aku juga malas berbalas pesan dengannya, ia tak lagi peduli padaku, perubahan yang terasa padanya kembali.

 Aku berfikir daripada aku sibuk memikirkannya, lebih baik aku mencari ketenanganku sendiri, kebetulan saat itu Aga mengirimkan beberapa pesan untukku, kurasa dialah yang ada untukku saat itu.

-via whatsapp Aga-
Aga : malam
Adilla : malam juga
Aga : lagi apa?
Adilla : chat sama kamu?
Aga :Ooo, hanya aku?
Adilla : mungkin iya. Dapet nomer ku dari mana?
Aga : dari hatimu:v
Adilla : basi
...1 pesan belum dibaca...

 Aku malas membalas pesannya, aku tak mood apapun malam itu, aku mematikan handphone, berbaring sambil terus memikirkan Arwan, sungguh aku ingin membuang jauh-jauh fikiranku tentangnya, aku merasa sangat membencinya, juga merasa masih ingin dengannya. Aku bingung.

 4 November 2017, pagi itu ada notif pesan dari Arwan, dia menanyakan apa perasaanku sudah baikan, sebenarnya dari malam sampai pagi itu, sebelum mendapat notif darinya, perasaanku tak karuan. Setelah mendapat pesan darinya, perasaanku kembali stabil.

 Ada yang berbeda dari sebelumnya, pagi itu sesampai di sekolah aku melihat Aga sudah berdiri di samping kelasku, ia menatapku dan teman-temannya menggoda.

Yang kulihat saat itu Aga bukan dirinya yang dingin.

Ternyata jika ia menjadi seorang yang friendly, ia terlihat sangat memukau. Saat ia dinginpun banyak yang mengejarnya, apalagi saat ia berubah menjadi lebih hangat seperti itu. ia berdiri sembari didorong-dorong oleh temannya untuk mendekat denganku.

"Dill...." sapanya sedikit canggung, aku menatapnya dengan tatapan tak biasa,
Aku menahan tawa melihat paras canggung itu, tak hanya itu, akupun menjadi merasa beruntung bisa sedekat itu dengan cowok yang dicap dingin dengan paras menawan, selagi juga kulihat senyumnya tak kalah indah dari permata.

“apa?”

“mau jadi pacarku?”

 Hatiku mencelos, dadaku berdegub, sama seperti hal yang kurasakan jika dekat dengan Arwan. Aku terpukul saat itu juga, kenangan-kenangan dengan Arwan seperti tergambar jelas, fikiranku kembali tertuju pada Arwan.

Siapakah yang ada di depanku ini? Ia bukan Arwan, bukan wanklutikku, tapi fikiranku penuh dengan Arwan.

Aku tersadar dari lamunan, menatap Aga yang seakan penuh harap, apa yang harus kujawab? Aku masih belum mengerti apa perasaanku padanya, aku yakin perasaanku bukan rasa suka, karena saat itu yang aku suka hanya Arwan, aku hanya punya satu hati, tak mungkin aku menyukai dua orang sekaligus.

 “aku gak tahu perasaanku ke kamu apa Ga, mungkin kita gak perlu pacaran dulu, kita bisa sahabatan, tapi nanti kalau perasaanku sudah yakin kamu, nanti aku langsung bilang” aku parau, sambil memegang rok seragam.

 Kufikir Aga akan marah ataupun kecewa, tapi ia malah memberiku sebuah senyuman, seperti tak ada beban, ia menganggukkan kepala, seperti berusaha memahami perasaanku.

 Maafkan aku saat itu. aku tau saat itu aku terlihat egois.

 Malamnya Arwan benar-benar hilang, sudah aku spam chat, ia hanya menjawab bahwa ia butuh waktu sendiri. Aku tak paham dengan apa yang ia maksud. Aku punya feeling bahwa dia akan benar-benar hilang.

-via whatsapp Aga-
Aga : bagaimana sudah mencintaiku?
Adilla : entahlah
Aga : kalau begitu kutanyakan lagi esok, jika masih belum, kutanyakan terus
Aga : aku sebenarnya punya nomormu dari dulu
Adilla : haha:v
Aga : aku baru berani chat kemaren haha:v
Adilla : udah ya, mau tidur
...1 pesan belum dibaca...

 01.23 WIB, aku terbangun dari mimpiku, mimpi buruk menghampiriku, entah itu hanya bunga tidur atau pertanda buruk, saat itu aku bermimpi aku bersama Arwan, bahagia. Hingga ada suatu hal yang membuatnya tiba-tiba saja pergi pamit padaku, saat itu aku tak ingin ia pergi, aku memeluknya erat, tapi ia perlahan memudar, setelah itu aku terbangun.

 7 November 2017, pagi-pagi aku segera stand by di teras, aku rindu Arwan. Ingin melihat parasnya lagi, saat itu hari selasa aku ada ulangan agama, jadi sambil menunggu-nya lewat, aku membaca materi-materi untuk ulangan. Sebelum aku sudah stand by di teras, aku mengirim ucapan selamat pagi untuknya.

 Beberapa saat terdengar suara motor mendekat, aku menghentikan baca bukuku, berusaha bersikap biasa dengan dada yang berdegub. Terlihat sosoknya lewat, aku tersenyum. Lalu aku mengambil handphone dalam tas untuk mengetahui apakah Arwan membalas salam pagiku.

Just read

Hanya dibaca, dan saat aku cek profilnya, foto profil, terakhir dilihat, dan statusnya hilang. Aku di blokir? Ya.

Sekejab aku parau, rasa sakit menelusup dadaku, entah itu hanya blokir, tapi aku benar-benar terpukul. Aku mematikan handphone dan memasukkan dalam tas. Mataku berkaca-kaca, tapi tangis itu kutahan, aku tak mau ibu melihatku parau. Hatiku menjerit.

Saat itu juga Arwan benar-benar pergi, dia yang hilang, meninggalkanku tanpa sepatah kata apapun dan tanpa pesan terakhir dariku.

Dalam perjalanan ke sekolah aku benar-benar rapuh, menahan tangis yang ingin pecah.
Sesampai di sekolah, aku mencium punggung tangan ibu tanpa menolehnya, mataku sudah merah, air mataku tak dapat tertampung. Aku seperti berjalan ke kelas dengan patah-patah, sesampai di kelas aku menunduk pilu, tangisanku benar-benar pecah.

Aku dengar keributan, lalu beberapa anak menghampiriku dengan nada suara khawatir. Aku menunggu Shasa, teman sebangkuku, aku ingin menceritakan kepatahanku itu. aku terus menangis hingga kerudungku basah.

“Dilla!? Kenapa? Dill! Ayo ke kamar mandi!” tangan itu menyeretku.

Air mataku terus mengalir, sampai di kamar mandi Shasa menyuruhku cuci muka, ia memaksaku, dia terlihat seperti bukan seorang teman, melainkan seperti seorang ibu. Kulihat ia sangat cemas, hingga ia membentakku.

“sekarang tenangkan diri kamu, lalu cerita apa yang terjadi?” menggoyangkan pundakku. Aku lemas, suaraku tercekat, hanya sesenggukan yang terdengar.

Shasa menghembuskan nafas berat, ia menyuruhku berkaca, “lihat dirimu, kerudungmu gak karuan, matamu merah sembab, seragammu tidak rapi, wajahmu tak cerah. Kau bukan temanku Dilla!”

Dia membuka handphone dan menyodorkan padaku, sebuah foto terpapar cantik, rapi, bersih, disana aku terlihat amat ceria, berbeda dengan diriku saat itu, aku tampak kacau, hanya karena hal yang mungkin dianggap sepele.

Bagiku itu bukanlah hal sepele, yang dilakukan Arwan sama halnya dengan putus sebuah hubungan.
Aku mencuci mukaku lagi dan merapikan seragamku, “tenangin diri kamu, sudah waktunya literasi, ayo!” kali ini ia merendahkan suaranya dan menggandengku dengan perlahan.

Bagaimanapun, seberapa banyak aku mencuci muka, bekas sebuah tangisan iu akan tetap terlihat, sembab.

Saat di lapangan, semua membaca buku bacaan masing-masing. Sementara aku menatap kosong lembar buku bacaan yang ku tulis besar nama panggilanku untuk Arwan, dan terdapat tanggal lahirnya. Segala hal-hal dengannya seakan berkumpul. Setelah itu aku akan menghadapi hariku tanpanya. Aku tau akan terasa berbeda.

Air mataku terus mengalir deras, tak ingin terhenti. Aku sesenggukan, rasanya sesak. Aku menghirup udara dan menghadap langit untuk menenangkan jiwa, sayang semuanya tak dapat ku reka. Dari jauh, terlihat Faisal menatapku, begitupun Amin dan yang lainnya.

Kumohon hentikan air mata ini semesta.

Shasa sesekali menoleh ke arahku.

Saat di kelas pelajaran Ppkn berlangsung, aku hanya menatap kosong kedepan, semuanya seakan hambar, hidupku menjadi kelabu. Air mataku tetap saja tak dapat berhenti. Aku biarkan hari itu aku benar-benar parau, dengan harapan besok aku tak akan lagi menangis karena hal semacam itu, berharap aku akan lebih tegar.

Shasa juga memahami jalan fikiranku, ia membiarkan ku menangis, sesenggukan itupun masih ada, aku pernah mengangis, bahkan berkali-kali, tapi tak pernah menangis dengan jiwa seakan mati seperti itu.

Semesta aku benar-benar kacau.

“kurasa kau sudah sedikit tenang, katakan apa masalahmu?!”

Aku hening, tenggelam dalam sendu, Shasa menatap menanti jawabanku,”apa karena mulut-mulut basi para cewe yang iri kamu?”

Aku tetap hening, menatap kosong lapangan,

“jangan bilang karena orang yang bernama Arwan?!” kali ini Shasa habis kesabaran, dan ia seperti sangat yakin, tangisanku karena Arwan.

Aku menyandarkan punggung pada tembok aula. “sebelumnya aku tak pernah ditinggalin dengan tidak sopan kayak gini...” hanya itu yang kukatakan.

Saat olahraga, teman kelasku benar-benar khawatir dengan keadaanku, “Dill kamu gapapa kan? Muka kamu bener-bener pucat” tegur salah satu temanku. Ubay menawarkan air putih padaku, aku hanya diam tak mampu menanggapi siapapun. Aku merasa diriku hilang, aku bukan lagi Dilla yang ceria seperti dulu.

Ini salahmu semesta, katakan ini hanya mimpi buruk, cepat bangunkan aku!

Istirahat kedua aku bersandar pada pundak Sari, aku ingin menenangkan perasaanku. Aku tahu saat itu dia memberikan beberapa lelucon untukku, tapi aku tak bisa fokus pada apapun lelucon-nya, lalu beberapa anak lainnya juga menghampiriku, menanyakan ada apa denganku.

Hingga Aga datang dan mengelus kepalaku, aku menatapnya parau. Ia hanya diam memberiku senyuman dan tetap mengelus kepalaku dengan lembut. Aku sedikit tenang dengan itu. tapi jiwaku masih tak bisa menerima kepergian Arwan.

“jangan banyak-banyak keluarin air mata itu, percaya aja ada karma. Aku mau ke rumahmu nanti, mau bertemu dengannya” menatap dingin kedepan,
Aku melihat parasnya, tak ada rasa takut. Aku merasa terlindungi saat itu, tapi aku tak ingin terjadi sesuatu pada Arwan, aku hanya ingin dia senang,

mungkin seberapa banyak tetes air mataku itu menjadi kebahagiaan untuk Arwan.

“kalau sayang, gausah lakuin apa-apa!” dengan sisa isakan, dia menatapku lembut.

“salah? Ijinin aku ngasih pelajaran buat seseorang yang buat kamu nangis,”

“kalau masih tetep ngelakuin, berarti gak sayang!” meninggikan suara,

“aku ini sahabat kamu Dil, aku berhak ngelindungin kamu...” bersandar pada tembok, lalu menatapku, kulihat matanya seperti penuh luka, namun aku tak tahu luka apa yang sedang ia rasakan.

Aga lalu meminta handphone ku dan mengganti statusku, dari ‘klutik.’ Menjadi ‘monokrom.’ Aku tak merasa keberatan dengan hal itu, bagaimanapun Arwan sudah pergi, aku tak perlu mempertahankan yang ingin berlalu.

“yang bener-bener sayang gak akan ninggalin Dill, sudah jelas tak ada rasa sayang pada dirinya, jangan kamu ngerasa kehilangan, aku sayang kamu, aku pastikan aku gak akan ninggalin kamu,” sembari terus mengelus kepalaku.

Hari itu menjadi hari burukku, semua materi ulangan yang kupelajari malam dan pagi hilang begitu saja, dan nilai ulangan agamaku menjadi sangat jelek. Aku benar-benar kacau. Semua yang aku perjuangkan, yang aku pertahankan, terkapar sia-sia. Yang harus kulakukan hanya meninggalkan semuanya, membiarkan segalanya membusuk dan lebur bersama dedaunan kering.

“cuci muka sana, nanti kalau ayah kamu liat terus tanya ke aku, aku jawab apa?” sembari memakai topi di kepalanya, lalu menuntun sepeda keluar dari parkiran, saat itu aku memang tak ingin jauh darinya.

“aku pengen ketemu ibu kamu...”

Aga menghentikan langkahnya dan menatapku , lalu tertawa,

“kok ketawa?!”

“kangen?” menatap ke arah depan, aku mengangguk lemah, entah dia melihatku atau tidak.

“yaudah, emakku juga kangen kamu. Eit...tapi udah ijin dulu?”

Aku mengangguk, dia tiba-tiba mencubit pipiku, “gemasss!”

Aku sudah dekat dengan ibu Aga, beliau orang yang sangat penyayang, aku sudah dekat saat kejadian aku mengembalikan topi Aga, saat itu aku sangat penasaran dengan Aga, hingga ku cari rumahnya, dan saat tiba di depan rumahnya, ibunya keluar dan menyuruhku masuk. Beliau bilang Aga sering cerita tentangku.
Ternyata hal seperti ini bukan hanya ada di sinetron.

Semua perjuanganku berhenti disitu, beruntung saat itu aku masih ditemani Aga, beruntung aku masih memiliki banyak teman yang menghiburku.
Aku mencoba mencari kesalahanku, mungkin memang aku yang egois selama ini, atau Arwan yang tak paham denganku, atau mungkin memang sedari dulu tak ada cinta dalam diri Arwan untukku. Aku tak begitu menyalahkannya, ini salahku, dengan terlalu berharap menimbulkan kekecewaan yang teramat dalam.

Selamat tinggal, jika kau tak sempat mengatakan itu padaku tak apa, aku anggap kau sudah mengatakannya. Jika itu membuatmu tenang. Selamat tinggal wanklutik, selamat tinggal dilkenyot. Mulai hari itu kau dan aku akan menjalani hidup sendiri-sendiri, tak akan ada lagi campur tangan apapun.

Mulai saat itu kau dan aku akan mencari kebahagiaan sendiri masing-masing. Tapi untuk sebutan mantan gebetan bisa diterima, namun tak dapat ku terima jika ada yang menyebut mantan teman, dia masih teman ku, dan akan selamanya begitu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANPANYA

PUISI-PUISI YANG TAK SEMPAT TERSAMPAIKAN

USIA DI 15 TAHUN